7 Fakta Kasus Korupsi PPK dalam Pengadaan Barang/Jasa

Kasus-kasus Pejabat Pembuat Komitmen (PPK) dalam kubangan korupsi pengadaan barang/jasa semakin ke sini semakin banyak. Selama ini penyimpangan terhadap suatu proses pengadaan barang dan jasa Pemerintah dilimpahkan sepenuhnya kepada PPK. 

Akhirnya muncullah persepsi sangatlah tidak adil jika seluruh kesalahan yang terjadi dalam pelaksanaan pengadaan barang/ jasa dilimpahkan hanya kepada PPK.

Padahal faktanya, dalam proses pelaksanaan pengadaan barang/ jasa tidak hanya PPK yang terlibat, tetapi terdapat pihak-pihak lainnya yang turut mengambil peran dalam pengadaan barang dan jasa yang saling terkait satu sama lain, diantaranya adalah Pengguna Anggaran (PA) dan Kuasa Pengguna Anggaran (KPA), Pejabat Pengadaan, Pokja Pemilihan, Agen Pengadaan, PjPHP/PPHP, Penyelenggara Swakelola dan Penyedia Barang/ Jasa (pelaksana pekerjaan).

Via Pixabay.com

Berikut di bawah ini tujuh fakta kasus korupsi yang menjerat PPK dalam pelaksanaan pengadaan barang/jasa yang kami dapatkan dari tesis Agus Chandra yang berjudul Kedudukan Hukum Pejabat Pembuat Komitmen (PPK) Dalam Pengadaan Barang/ Jasa Pemerintah

Silahkan dinilai apakah PPK melakukan penyimpangan tersebut berdasarkan dengan kehendak dirinya (kesadarann otonom) atau kehendak dari luar dirinya (kesadaran heteronom), dan apakah layak PPK dimintakan pertanggungjawaban pidana atau tidak.


1. Putusan No. 457 K/Pid.Sus/2012, yang dilakukan oleh Terdakwa atas nama Ir. Edy Karyoso, MM atas kasus Proyek Peningkatan Jalan Gubug-Jeketro senilai Rp 6 miliar. 

Kapasitasnya selaku Pejabat Pembuat Komitmen (PPK) proyek peningkatan jalan berkonstruksi beton bertulang di lokasi tersebut. 

Kontrak pekerjaan tersebut dikasuskan dengan alasan berdasarkan hasil uji mutu di Laboratorium Bahan dan Konstruksi Jurusan Sipil Fakultas Teknk Undip didapatkan bahwa pada beton yang digunakan pada proyek peningkatan jalan tersebut kualitasnya di bawah bestek. 

Untuk mutu beton terendah yaitu K55, sedangkan tertingi K230. Padahal, berdasarkan buku kontrak, mutu beton harus mencapai K300.

2. Putusan No. 1287 K/Pid.Sus/2013, yang dilakukan oleh Terdakwa atas nama Prof. Dr. H. Abdus Salam, Dz, MM dalam perkara penyelewengan dana pengadaan alat untuk proyek EMIS (Education Management Information System) Institut Agama Islam Negeri (IAIN) Syekh Nurjati Cirebon. Kapasistasnya selaku PPK.

3. Putusan No. 2543 K/ Pid.Sus/2013, yang dilakukan oleh Terdakwa atas nama Sutanto, S.T., M.T. selaku PPK dalam Proyek Normalisasi Sungai Gawe di Kabupaten Banyumas Sumber Dana APBN Tahun Anggaran 2010 yang diberi kewenangan untuk menandatangani Kontrak/SPK dan bertanggung jawab atas kebenaran material dan akibat yang timbul dari kontrak/SPK. 

Panitia Pemeriksa dan Penerima Pekerjaan PHO (Provisional Hand Over) dan FHO (Final Hand Over) Bidang Konstruksi melakukan pemeriksaan dan membuat Laporan Hasil Pemeriksaan Pekerjaan dengan hasil : masih perlu perbaikan,. 


Namun, singkat cerita yang bersangkutan menyalahgunakan kewenangannya dengan menyatakan : 

a. Penyedia Jasa telah menyelesaikan dan menyerahkan pekerjaan TAHAP PERTAMA sesuai hasil yang dicapai berdasarkan Surat Perjanjian (Kontrak) beserta Amandemennya. 

b. Pengguna Jasa menerima atas penyelesaian dan penyerahan Pertama Pekerjaan sesuai yang dimaksud tersebut diatas dengan hasil baik. 

c. Berdasarkan persetujuan serah terima ini maka Penyedia Jasa berhak menerima pembayaran sesuai Kontrak; yang seharusnya Sdr. SUTANTO, ST.MT. selaku PPK memerintahkan Penyedia Jasa untuk melengkapi dan memperbaiki temuan dari pihak Panitia Pemeriksa dan Penerima Pekerjaan (PHO/FHO) Bidang Konstruksi terlebih dahulu.

4. Putusan No. 99/Pid.Sus/TPK/2014/PN.Sby, yang dilakukan oleh Terdakwa atas nama Agus Kuncoro, S.Sos. selaku PPK. Sebagai PPK dalam proyek pembangunan gedung Dirjen Bea Cukai senilai Rp 3,5 miliar, Agus dinilai tidak cermat dalam mencairkan anggaran. 

Yang kemudian berakibat terjadinya kerugian Negara. Berdasarkan putusan, kerugian Negara ditimbulkan dengan adanya pembayaran melampaui 70 persen, padahal proyek masih berjalan. 

Perkara ini mulai ditangani pihak kejaksaan karena hingga jatuh tempo pembangunan tidak terselesaikan, padahal dana sudah dicairkan hampir keseluruhan. Dari situlah, ditemukan adanya dugaan penyimpangan dana dan pembangunannya. PPK dan bos perusahaan rekanan dianggap bersalah. 

Ditemui usai sidang, Agus mengaku pasrah. Alasannya, dia dihukum bukan karena menikmati uang Negara, tapi karena tidak cermat menyimpan uang proyek yang bersumber dari APBN.

5. Putusan No. 606 K/ Pid.Sus/2014, yang dilakukan oleh Terdakwa atas nama Dra. Hj. Prolie Rusdekawati, selaku Kuasa Pengguna Anggaran (KPA) yang juga merangkap selaku Pejabat Pembuat Komitmen (PPK) BPPK (Balai Pendidikan Pelatihan Kejuruan) Duren Sawit Jakarta Timur. 

Yang bersangkutan telah melaksanakan kegiatan pengadaan barang/jasa. kegiatan pekerjaan barang alat-alat praktek bengkel di BPPK Jakarta Timur untuk tahun anggaran 2010. 

Prolie dinilai telah merugikan keuangan negara dengan adanya pengaturan pemenang lelang dan adanya dugaan mark up harga barang.

6. Putusan No. 918 K/ Pid.Sus/2014, yang dilakukan oleh Terdakwa atas nama Drg. Maya Laksmini selaku Pejabat Pembuat Komitmen (PPK). 

Tersangka Hasyim dan rekan-rekannya, yang merupakan Bendahara Pengeluaran di Inspektorat Jenderal Departemen Kesehatan RI, telah melakukan pembayaran biaya perjalanan dinas untuk kegiatan Diklat Sertifikasi. 

Pembayaran ini dilakukan atas petunjuk dari Drg. Maya Laksmini, yang juga merupakan Pejabat Pengadaan Barang/Jasa (PPK) sekaligus Wakil Ketua Diklat.

Selain itu, mereka juga melakukan pembayaran biaya perjalanan dinas untuk kegiatan lainnya kepada pejabat dan pegawai yang berwenang sesuai dengan surat tugas yang diberikan oleh pimpinan. 

Sayangnya, dalam pelaksanaan kegiatan tersebut, terjadi penyimpangan. Durasi kegiatan yang semestinya berlangsung selama 9 hari dipangkas menjadi 5 hari.

Hal yang lebih merisaukan adalah uang yang seharusnya digunakan untuk kegiatan pelatihan tersebut yang telah dipangkas, ternyata digunakan untuk kegiatan di luar tugas kedinasan yang sebelumnya tidak dianggarkan dalam Daftar Isian Pelaksanaan Anggaran (DIPA) Inspektorat Jenderal Departemen Kesehatan.

7. Putusan No. 8/TIPIKOR/2016/PT.Bdg, yang dilakukan oleh Terdakwa atas nama Noverdi, SPd. selaku PPK. 

Menurut majelis hakim, pada proyek pengadaan alat peraga untuk Sekolah Dasar (SD) senilai Rp 4,7 miliar ini terdakwa telah memberikan pembayaran 100 persen kepada Penyedia Barang, Dodo Wahyudin, terdakwa lain kasus ini yang telah divonis hukuman 1 tahun penjara. 

Padahal, kata majelis hakim, kenyataan di lapangan pengerjaan proyek itu tidak mencapai 100 persen. Selain itu ditemukan fakta barang yang dikirim tidak sesuai dengan spesifikasi yang telah ditentukan untuk proyek tersebut.

Berdasarkan kasus-kasus tersebut di atas, kedudukan Pejabat Pembuat Komitmen (PPK) dalam kontrak pengadaan barang/ jasa pemerintah merupakan salah satu pihak sebagai pejabat pelaksana pengadaan yang memiliki peranan sangat kursial, dimana PPK merupakan pejabat yang bertanggung jawab atas pelaksana pengadaan barang/jasa tersebut. 

Tugas PPK dalam pengadaan, sebelum pelaksanaan tender proyek meliputi penetapan spesifikasi teknis barang/ jasa, harga perkiraan sendiri (HPS) dan membuat draft kontrak. Sedangkan setelah penetapan penyedia, PPK menjalankan tugasnya dengan menandatangani kontrak serta mengendalikan kontrak, setelah kontrak selesai PPK melakukan proses pembayaran kontrak dan penyerahan sebagai aset barang milik negara/ daerah. 

Dari sinilah dikarenakan fungsi dan peran PPK sangat penting dalam keberhasilan pelaksanaan pengadaan barang jasa pemerintah, maka risiko menjadi PPK pun juga sangat tinggi di mana bisa-bisa masuk ke dalam jeruji penjara.

0 Response to "7 Fakta Kasus Korupsi PPK dalam Pengadaan Barang/Jasa"

Post a Comment