Produk Lokal Melesat, Produk Impor Terdesak di Era Perpres 46/2025

Melalui penerbitan Peraturan Presiden (Perpres) Nomor 46 Tahun 2025, pemerintah secara resmi mengubah lanskap belanja negara. Kini, hanya produk lokal yang bersertifikat dan memenuhi kriteria tertentu yang berpeluang besar mengisi kebutuhan instansi pemerintah.

Tidak tanggung-tanggung, Perpres ini mewajibkan penggunaan produk lokal bersertifikat Standar Nasional Indonesia (SNI) sebagai salah satu syarat utama dalam penyusunan spesifikasi teknis pengadaan.

Bagi pelaku usaha asing atau importir yang biasa bermain di area pengadaan pemerintah, ini adalah peringatan keras. Aturan baru ini bukan sekadar imbauan, tapi menjadi bagian dari kebijakan resmi negara yang harus dipatuhi. Sementara itu, para pelaku usaha lokal punya peluang emas untuk naik kelas—asal siap memenuhi standar dan sertifikasi yang ditetapkan.





Landasan Hukum: Prioritas Produk Dalam Negeri dalam Pengadaan Pemerintah


Perpres Nomor 46 Tahun 2025
 tentang Pengadaan Barang/Jasa Pemerintah menegaskan keberpihakannya terhadap produk dalam negeri dalam proses pengadaan, yang dituangkan secara tegas dalam Pasal 19.

Dalam pasal tersebut, pemerintah mengatur bahwa penyusunan spesifikasi teknis atau kerangka acuan kerja (KAK) untuk pengadaan barang/jasa wajib menggunakan produk dalam negeri, produk bersertifikat SNI, produk UMK/koperasi hasil produksi dalam negeri, dan produk ramah lingkungan.

Lebih jauh lagi, Pasal 19 ayat (1a) menambahkan ketentuan penting: penggunaan produk dalam negeri harus menyesuaikan dengan kemampuan industri nasional yang tercantum dalam daftar inventarisasi barang/jasa produksi dalam negeri dari Kementerian Perindustrian

Artinya, pemerintah hanya akan membeli apa yang secara nyata bisa diproduksi dalam negeri — dengan standar dan kapabilitas yang sudah diakui secara formal.


Prioritas Produk Bersertifikat SNI


Pasal 19 ayat (1) huruf b 
Perpres 46 Tahun 2025 mewajibkan Pejabat Pembuat Komitmen (PPK) menggunakan produk yang telah memenuhi standar nasional ketika menyusun spesifikasi teknis atau kerangka acuan kerja (KAK).

Mengapa ini penting? Karena sertifikasi SNI bukan sekadar label, tetapi bukti bahwa produk tersebut telah melalui pengujian kualitas, keamanan, dan kesesuaian fungsi.

Dengan aturan baru ini, produk lokal tanpa sertifikasi SNI otomatis gugur dari kualifikasi, tidak peduli seberapa murah atau cepat produksinya. Pemerintah ingin memastikan bahwa belanja negara tidak hanya berpihak pada produk lokal, tetapi juga mendorong peningkatan kualitas industri nasional melalui standar yang ketat dan konsisten.

Hal ini juga menjadi tekanan tersendiri bagi pelaku usaha yang selama ini mengandalkan jalur informal atau produksi tanpa standar. Mereka yang tidak segera mengurus sertifikasi produk akan tersingkir dari pasar pengadaan, yang notabene merupakan salah satu pasar terbesar dan paling stabil di Indonesia.

Implikasi bagi Produk Impor

Dengan diberlakukannya Perpres 46 Tahun 2025, posisi produk impor dalam pengadaan pemerintah menjadi sangat tertekan. Aturan-aturan baru yang mewajibkan penggunaan produk dalam negeri, produk bersertifikat SNI, dan produk UMK/koperasi secara langsung mempersempit ruang gerak bagi barang-barang luar negeri, terutama yang tidak memenuhi kualifikasi standar nasional atau tidak dapat dibuktikan kontribusinya terhadap ekonomi lokal.

Sebelumnya, produk impor bisa dengan mudah masuk ke pasar pengadaan karena kurangnya regulasi afirmatif terhadap produk lokal. Tapi kini, setiap tahapan dalam proses pengadaan—mulai dari penyusunan spesifikasi teknis, pemilihan penyedia, hingga evaluasi penawaran—secara hukum harus memprioritaskan produk dalam negeri yang memenuhi ketentuan.

Artinya, produk impor hanya akan dipertimbangkan jika dan hanya jika tidak ada produk lokal yang setara atau tersedia dalam daftar inventarisasi industri dalam negeri dari Kementerian Perindustrian. Dan sekalipun dipertimbangkan, produk impor tetap harus memenuhi standar dan sertifikasi teknis yang sama—sesuatu yang seringkali tidak dimiliki secara langsung oleh pelaku usaha asing.

Kondisi ini membuat para importir menghadapi dua pilihan:

  1. Bermitra dengan produsen dalam negeri, untuk mengadaptasi proses produksi di Indonesia dan mendapatkan pengakuan sebagai produk lokal.

  2. Tersingkir dari pasar pengadaan, karena produk mereka tidak bisa lagi bersaing tanpa dukungan regulasi.

Bagi pelaku usaha asing, ini adalah perubahan drastis. Tetapi bagi Indonesia, ini adalah langkah strategis untuk melindungi pasar domestik, memperkuat industri nasional, dan mendorong substitusi impor secara sistematis.

Dalam konteks perdagangan global, kebijakan ini tidak serta-merta berarti proteksionisme. Justru, ini adalah bentuk nation-building—membangun kemandirian ekonomi nasional melalui instrumen hukum dan pengadaan publik yang progresif.

0 Response to "Produk Lokal Melesat, Produk Impor Terdesak di Era Perpres 46/2025"

Posting Komentar