Pelaksanaan pengadaan barang dan jasa pemerintah tidak selalu berjalan sesuai dengan kontrak awal. Di lapangan, berbagai faktor tak terduga seperti bencana alam, atau perbedaan kondisi di lapangan. Dalam kondisi tersebut, penyesuaian terhadap isi kontrak sering kali menjadi kebutuhan praktis yang tidak dapat dihindari.
Namun, dalam ketentuan sebelumnya — yakni Perpres Nomor 16 Tahun 2018 sebagaimana telah diubah dengan Perpres Nomor 12 Tahun 2021 — ruang untuk melakukan perubahan kontrak tergolong terbatas. Salah satu yang membatasi adalah klausal batas maksimal 10% untuk penambahan nilai kontrak dalam pekerjaan sejenis.
Akibatnya, banyak proyek yang menghadapi kendala penyelesaian atau keterlambatan karena terbentur oleh kerangka regulasi yang kaku, meskipun secara teknis dan logis perubahan tersebut dibutuhkan.
Menjawab tantangan tersebut, pemerintah menerbitkan Perpres Nomor 46 Tahun 2025 yang membawa angin segar melalui penyesuaian ketentuan dalam Pasal 54.
Nah, artikel ini akan membahas secara komprehensif mengenai fleksibilitas perubahan kontrak sebagaimana diatur dalam Perpres 46 Tahun 2025, mencakup konteks perubahan kebijakan, batasan kondisi yang diperbolehkan, serta tata cara pelaksanaannya.
Apa dalam Pasal 54 Perpres 46/2025?
Melalui Pasal 54 Perpres 46 Tahun 2025, pemerintah melakukan penyesuaian kebijakan yang bersifat strategis. Perubahan ini secara eksplisit membuka ruang untuk:
-
Penambahan nilai kontrak lebih dari 10%,
-
Penyesuaian ruang lingkup pekerjaan, dan
-
Perpanjangan jangka waktu pelaksanaan kontrak,
dengan syarat bahwa perubahan tersebut dilakukan dalam keadaan tertentu yang dapat dipertanggungjawabkan secara administratif dan teknis.
Perubahan ini tidak bersifat terbuka tanpa batas. Terdapat tiga kondisi utama yang disebutkan secara eksplisit dalam telaah Perpres dan ketentuan normatif, yaitu:
-
Penanganan keadaan darurat, sebagaimana dijelaskan lebih lanjut dalam Pasal 59. Ini mencakup kondisi seperti bencana alam, pandemi, dan gangguan pelayanan vital.
-
Penugasan untuk pelaksanaan kebijakan prioritas nasional, yang memerlukan penyesuaian pekerjaan agar tetap selaras dengan dinamika kebijakan pemerintah pusat.
-
Perubahan lingkungan atau kondisi objektif di lapangan yang berdampak signifikan terhadap pelaksanaan kontrak, seperti lonjakan harga bahan baku, gangguan rantai pasok, atau temuan teknis baru saat pekerjaan berjalan.
Dengan kebijakan baru ini, batas maksimal 10% tidak lagi berlaku mutlak, selama perubahan dapat dijustifikasi dan dituangkan dalam dokumen formal yang sah, seperti berita acara, adendum kontrak, dan kajian teknis.
Penyesuaian Pasal 54 ini menandai pergeseran dari pendekatan administratif yang kaku menuju pendekatan manajerial yang adaptif, sekaligus memperkuat posisi pengadaan sebagai instrumen dinamis dalam mendukung pelaksanaan anggaran dan pembangunan.
Situasi dan Alasan yang Membenarkan Perubahan Kontrak
Berdasarkan perubahan Pasal 54, serta ketentuan terkait dalam Pasal 59 dan telaah resmi Perpres, terdapat tiga kategori utama yang menjadi dasar sah perubahan kontrak:
1. Keadaan Darurat
Situasi darurat menjadi alasan paling kuat dan langsung yang membenarkan perubahan kontrak secara signifikan. Keadaan darurat dalam konteks ini mencakup:
-
Bencana alam, seperti gempa bumi, banjir, atau tanah longsor;
-
Bencana non-alam, seperti pandemi, kegagalan teknologi sistemik, atau serangan siber terhadap infrastruktur layanan publik;
-
Kerusuhan sosial atau gangguan keamanan, yang mengganggu kelangsungan proyek yang sedang berjalan;
-
Kerusakan fasilitas vital, seperti jembatan, jaringan listrik, atau sistem air bersih.
Dalam kondisi ini, penyedia jasa atau pelaksana konstruksi mungkin menghadapi situasi di mana volume pekerjaan perlu ditambah, lokasi pekerjaan berubah, atau waktu pelaksanaan harus diperpanjang. Tanpa fleksibilitas kontrak, proyek-proyek tersebut berisiko tidak terselesaikan atau justru berakhir dalam sengketa hukum.
2. Penugasan untuk Pelaksanaan Kebijakan Prioritas Nasional
Sering kali proyek pengadaan dilakukan dalam kerangka kebijakan yang bersifat dinamis. Ketika pemerintah pusat atau pimpinan instansi menetapkan perubahan arah kebijakan—misalnya perluasan cakupan proyek atau percepatan pelaksanaan program strategis nasional—maka penyelarasan isi kontrak menjadi mutlak diperlukan.
Contoh konkret dari situasi ini antara lain:
-
Perluasan jumlah fasilitas kesehatan dalam program pembangunan rumah sakit rujukan nasional;
-
Perubahan teknologi atau pendekatan dalam proyek digitalisasi layanan publik;
-
Percepatan tenggat waktu pembangunan infrastruktur penunjang event nasional atau internasional.
Dalam kasus seperti ini, perubahan kontrak bertujuan agar proyek tetap relevan dan dapat menyelaraskan diri dengan prioritas terbaru pemerintah.
3. Perubahan Kondisi Objektif Lapangan
Dalam banyak kasus, situasi di lapangan baru sepenuhnya diketahui setelah pelaksanaan dimulai. Ini umum terjadi dalam pekerjaan konstruksi, pengadaan peralatan teknologi, atau pembangunan infrastruktur dasar. Beberapa contoh perubahan kondisi objektif yang relevan:
-
Temuan geoteknik baru yang mempengaruhi metode kerja atau spesifikasi material;
-
Lonjakan harga bahan baku yang tidak terantisipasi dalam HPS awal;
-
Gangguan pasokan logistik akibat faktor eksternal seperti krisis geopolitik atau kebijakan ekspor negara lain.
Dalam situasi seperti ini, perubahan kontrak diperlukan agar pelaksanaan tetap feasible secara teknis dan ekonomis.
Syarat, Prosedur, dan Batasan Teknis
Fleksibilitas yang diberikan melalui perubahan Pasal 54 Perpres Nomor 46 Tahun 2025 tidak berarti kontrak dapat diubah secara bebas.
Pemerintah tetap menetapkan syarat-syarat yang ketat, prosedur formal, dan batasan teknis agar setiap perubahan kontrak tetap berada dalam koridor hukum dan prinsip tata kelola yang baik.
Tujuannya adalah agar fleksibilitas ini benar-benar digunakan untuk merespons kondisi objektif, bukan sebagai jalan pintas dalam pelaksanaan pengadaan.
1. Syarat Formal: Harus Ada Justifikasi dan Dasar yang Jelas
Perubahan kontrak hanya dapat dilakukan jika:
-
Terjadi keadaan darurat atau situasi khusus lainnya yang dibenarkan dalam peraturan (Pasal 54 jo. Pasal 59),
-
Terdapat penugasan dari pimpinan instansi untuk menyesuaikan dengan kebijakan prioritas nasional, atau
-
Ada perubahan kondisi lapangan yang dibuktikan melalui kajian teknis.
Justifikasi ini wajib dituangkan secara tertulis dan disusun oleh Pejabat Pembuat Komitmen (PPK) atau tim teknis yang ditunjuk, dengan mencantumkan:
-
Uraian kondisi yang memerlukan perubahan,
-
Dampaknya terhadap pelaksanaan kontrak,
-
Rincian perubahan nilai, volume, spesifikasi, atau waktu pelaksanaan.
Tanpa dokumen justifikasi yang valid, perubahan kontrak tidak dapat dilanjutkan.
2. Prosedur Perubahan Kontrak
Setiap perubahan kontrak harus mengikuti prosedur baku berikut:
-
Penyusunan berita acara perubahan, yang disepakati antara PPK dan penyedia;
-
Penerbitan addendum kontrak, yang memuat seluruh perubahan dari kontrak awal;
-
Persetujuan pimpinan atau kuasa pengguna anggaran (KPA), terutama untuk perubahan yang berdampak signifikan pada nilai dan jangka waktu;
-
Pencatatan dalam sistem pengadaan dan pelaporan kepada UKPBJ serta inspektorat internal.
Jika perubahan nilai menyebabkan penambahan anggaran, maka harus dipastikan ketersediaan pagu anggaran yang sah dan tidak bertentangan dengan peraturan keuangan lainnya.
3. Batasan Teknis: Kewajaran Harga dan Konsistensi Tujuan
Meskipun perubahan nilai kontrak lebih dari 10% kini diperbolehkan, Perpres tetap mensyaratkan bahwa:
-
Harga tambahan harus dinilai wajar berdasarkan kondisi pasar, perbandingan kontrak sejenis, atau kajian teknis internal;
-
Perubahan tidak boleh mengubah tujuan utama pengadaan, misalnya mengganti jenis barang/jasa yang secara substantif berbeda dari kontrak awal;
-
Perubahan tidak boleh bertentangan dengan peraturan perundang-undangan lainnya (termasuk peraturan teknis sektoral, misalnya konstruksi, alat kesehatan, atau teknologi informasi).
Dokumentasi teknis atas perubahan harus dilampirkan dalam kontrak dan siap untuk diaudit kapan saja.
Dengan diberikannya ruang perubahan kontrak melalui Perpres Nomor 46 Tahun 2025, pemerintah menunjukkan komitmennya untuk menghadirkan sistem pengadaan yang adaptif terhadap dinamika dan keadaan tak terduga. Namun, fleksibilitas ini juga menuntut kedewasaan tata kelola—di mana setiap keputusan perubahan harus didasarkan pada justifikasi yang sah dan dijalankan dengan prinsip kehati-hatian.
Penyesuaian kontrak, jika dilakukan tanpa kontrol yang memadai, berisiko menimbulkan pemborosan atau penyimpangan. Karena itu, pelaku pengadaan dituntut tidak hanya memahami substansi regulasi, tetapi juga membangun praktik dokumentasi, pengawasan internal, dan transparansi yang memadai.
0 Response to "Kontrak Bisa Diubah Lebih dari 10%! Ini Ketentuan Baru dalam Perpres 46 Tahun 2025"
Posting Komentar