Dalam beberapa tahun terakhir, desa-desa di Indonesia telah mengalami perubahan yang luar biasa dalam hal peran dan tanggung jawab pembangunan. Sejak digulirkannya program Dana Desa pada tahun 2015, jumlah anggaran yang dialokasikan ke lebih dari 74.000 desa terus meningkat. Dana yang awalnya hanya berkisar puluhan triliun rupiah, kini telah menembus angka seratus triliun lebih setiap tahunnya.
Seiring besarnya dana yang dikelola, muncul pula tuntutan transparansi, akuntabilitas, dan tata kelola yang lebih baik. Pemerintah pusat dan publik mulai menyoroti bagaimana Dana Desa digunakan: apakah tepat sasaran? Apakah sesuai aturan? Apakah memberikan manfaat nyata bagi masyarakat?
Di tengah sorotan tersebut, muncul satu pertanyaan mendasar yang sering terabaikan: siapa yang mengatur belanja Dana Desa?
Apakah pengadaan barang dan jasa di desa hanya urusan internal pemerintah desa? Atau sudah ada regulasi yang mengikat secara nasional, sebagaimana berlaku di kementerian atau pemerintah daerah?
Pertanyaan ini menjadi sangat relevan sejak terbitnya Peraturan Presiden Nomor 46 Tahun 2025, yang secara eksplisit memperluas cakupan regulasi pengadaan barang/jasa pemerintah hingga ke tingkat desa.
Perubahan Besar di Tahun 2025: Desa Masuk Ranah PBJ Nasional
Tahun 2025 menandai babak baru dalam sejarah pengadaan barang/jasa di Indonesia. Melalui Peraturan Presiden Nomor 46 Tahun 2025, pemerintah pusat resmi memperluas cakupan regulasi pengadaan untuk mencakup salah satu entitas yang selama ini berada di luar sistem nasional: Pemerintah Desa.
Perpres ini merupakan perubahan kedua atas Perpres Nomor 16 Tahun 2018 tentang Pengadaan Barang/Jasa Pemerintah. Salah satu perubahan paling mendasar dan strategis terletak pada dua pasal, yakni Pasal 1 (Ketentuan Umum) dan Pasal 2 (Ruang Lingkup). Kedua pasal ini menyematkan posisi baru bagi Pemerintah Desa dalam lanskap kebijakan pengadaan nasional.
Pasal 1: Definisi Baru, Tanggung Jawab Baru
Dalam Perpres 46 Tahun 2025, definisi "Pengadaan Barang/Jasa Pemerintah" mengalami perluasan. Tidak hanya dilakukan oleh Kementerian, Lembaga, dan Perangkat Daerah seperti sebelumnya, tetapi juga mencakup Institusi Lainnya dan Pemerintah Desa.
Bahkan, APBDesa secara eksplisit disebut sebagai salah satu sumber pendanaan yang masuk dalam cakupan pengadaan pemerintah.
Selain itu, definisi “Pemerintah Desa” juga disisipkan secara khusus dalam Pasal 1 angka 5b, memberikan legitimasi bahwa pemerintah desa bukan hanya pelaksana pembangunan, tetapi juga pelaku pengadaan yang tunduk pada regulasi nasional.
Pasal 2: Ruang Lingkup yang Kian Luas
Pasal 2 mempertegas konsekuensi dari perluasan definisi tersebut. Dalam versi terbaru ini, ruang lingkup pengadaan barang/jasa tidak lagi terbatas pada kementerian dan daerah, melainkan secara eksplisit menyebut “Pemerintah Desa” sebagai salah satu subjek yang wajib mengikuti ketentuan pengadaan jika menggunakan dana dari APBN, APBD, maupun APBDesa.
Dengan demikian, pengadaan yang bersumber dari Dana Desa—baik untuk pembangunan infrastruktur, pengadaan alat pertanian, bahan pangan, atau program pemberdayaan masyarakat—wajib mengikuti prinsip, tata cara, dan metode pengadaan barang/jasa pemerintah.
Apa Konsekuensinya bagi Pemerintah Desa?
Masuknya Pemerintah Desa ke dalam ruang lingkup Peraturan Presiden tentang Pengadaan Barang/Jasa Pemerintah bukan sekadar perubahan di atas kertas. Implikasinya nyata dan menyentuh langsung pada cara desa mengelola keuangan, menyusun rencana kegiatan, dan melaksanakan belanja pembangunan.
1. Proses Pengadaan Harus Sesuai Prosedur PBJ
Dengan berlakunya Perpres 46 Tahun 2025, pengadaan yang bersumber dari APBDesa tidak lagi bisa dilakukan secara informal atau berdasarkan kebiasaan lokal semata. Pemerintah Desa kini wajib mengikuti prinsip-prinsip pengadaan yang diatur secara nasional, seperti:
- Efisien dan efektif
- Transparan dan terbuka
- Adil dan tidak diskriminatif
- Akuntabel
Artinya, setiap pembelian barang, jasa, atau kegiatan pembangunan desa harus melalui tahapan yang sistematis—mulai dari perencanaan, pemilihan penyedia, hingga pelaporan dan serah terima hasil.
2. Kepala Desa dan Perangkat Desa Memiliki Tanggung Jawab Tambahan
Dalam konteks pengadaan, Pemerintah Desa tidak bisa lagi menyerahkan sepenuhnya urusan pembelian kepada pihak ketiga atau sekadar "asal tunjuk". Kepala Desa, Sekretaris Desa, hingga Kaur Keuangan dan Tim Pelaksana Kegiatan (TPK) perlu memahami peran mereka masing-masing dalam siklus PBJ.
Sebagai contoh:
- Siapa yang menyusun spesifikasi kebutuhan?
- Bagaimana memilih penyedia barang/jasa?
- Apa dokumen yang wajib disiapkan?
- Bagaimana memastikan tidak terjadi konflik kepentingan?
Semua itu kini menjadi bagian dari kewenangan sekaligus tanggung jawab Pemerintah Desa sebagai pelaku pengadaan.
3. Praktik yang Tidak Sesuai Aturan Berisiko Sanksi
Dengan diperluasnya definisi pengadaan hingga ke tingkat desa, maka mekanisme pengawasan dan penegakan hukum juga ikut berlaku. Kesalahan prosedur, pengadaan fiktif, atau pelanggaran etika pengadaan dapat menjadi temuan auditor, inspektorat, bahkan aparat penegak hukum.
Sanksi administratif, sanksi pidana, hingga pencantuman ke dalam daftar hitam penyedia (blacklist) kini juga menjadi konsekuensi yang harus dipahami oleh Pemerintah Desa.
Tantangan Implementasi di Lapangan
Transisi dari praktik pengelolaan keuangan desa yang selama ini cenderung fleksibel menuju pengadaan yang berbasis regulasi, prosedur, dan prinsip akuntabilitas menimbulkan berbagai tantangan seperti berikut.
1. Keterbatasan SDM dan Sertifikasi Pengadaan
Salah satu hambatan utama adalah keterbatasan sumber daya manusia yang memahami teknis PBJ. Sebagian besar aparat desa belum memiliki pelatihan memadai dalam hal penyusunan spesifikasi teknis, evaluasi penyedia, penyusunan kontrak, atau penggunaan sistem elektronik pengadaan.
Lebih lanjut, ketentuan dalam Perpres 46 Tahun 2025 mengamanatkan adanya sertifikasi kompetensi bagi pelaku pengadaan tertentu, seperti Pejabat Pembuat Komitmen (PPK).
Namun, hingga kini belum ada skema yang terstruktur untuk memastikan aparat desa memperoleh sertifikasi tersebut secara luas dan merata.
2. Keterbatasan Infrastruktur dan Akses Teknologi
Pelaksanaan PBJ nasional sangat erat dengan sistem berbasis elektronik, seperti Sistem Pengadaan Secara Elektronik (SPSE) dan Katalog Elektronik (e-katalog). Namun, banyak desa di Indonesia masih menghadapi tantangan infrastruktur:
- Akses internet yang terbatas atau tidak stabil
- Minimnya perangkat kerja (komputer, printer, scanner)
- Belum adanya dukungan teknis atau operator yang paham teknologi
Akibatnya, standar pengadaan yang disyaratkan oleh regulasi sering kali sulit dijalankan dalam kondisi nyata di desa-desa terpencil.
3. Ketidaksinkronan dengan Pendamping dan Pemerintah Daerah
Dalam praktiknya, pendamping desa, dinas terkait di kabupaten, dan inspektorat sering kali memiliki persepsi atau pemahaman yang berbeda terkait pelaksanaan PBJ di desa.
Belum adanya panduan teknis yang tersosialisasi secara luas membuat banyak pihak masih meraba-raba batasan dan kewajiban.
Akibatnya, tidak sedikit desa yang merasa kebingungan: harus mengikuti mekanisme PBJ nasional seperti tertulis di Perpres, atau mengikuti arahan pendamping teknis yang belum tentu selaras?
Solusi dan Dukungan yang Diperlukan
Maka, sejumlah solusi perlu dirancang untuk memastikan desa tidak dibiarkan berjalan sendiri.
1. Peran Aktif Pemerintah Daerah dan Kementerian Dalam Negeri
Sebagai pembina dan pengawas langsung terhadap desa, pemerintah kabupaten/kota dan Kemendagri perlu menjadi pihak terdepan dalam mengawal implementasi PBJ di tingkat desa. Dukungan ini dapat berupa:
- Penyusunan regulasi turunan atau pedoman teknis khusus pengadaan di desa.
- Integrasi prinsip PBJ ke dalam mekanisme pembinaan dan pengawasan keuangan desa.
- Pemetaan kesiapan desa, termasuk infrastruktur, SDM, dan akses sistem elektronik.
Tidak cukup hanya melempar regulasi ke desa. Perlu ada pendekatan kolaboratif dan bertahap, mengingat karakteristik dan kapasitas masing-masing desa sangat bervariasi.
2. Program Pelatihan dan Sertifikasi PBJ bagi Aparat Desa
Pemerintah perlu segera menyusun program pelatihan nasional yang dirancang khusus untuk konteks desa. Pelatihan ini tidak harus serumit pelatihan PBJ pada tingkat kementerian atau lembaga, namun tetap harus mengacu pada prinsip-prinsip dasar yang berlaku.
Langkah lebih lanjut adalah membuka akses sertifikasi kompetensi PBJ yang fleksibel dan bertahap, misalnya:
- Sertifikasi dasar bagi Sekretaris Desa, Kaur Keuangan, atau TPK.
- Sertifikasi lanjutan bagi desa yang mengelola proyek skala besar.
- Kemudahan pembiayaan pelatihan dari APBD atau Dana Desa sendiri.
3. Adaptasi Sistem Elektronik untuk Desa
Tidak semua desa siap menggunakan sistem elektronik PBJ seperti SPSE atau e-katalog nasional. Karena itu, perlu ada adaptasi sistem yang:
- Ramah bagi pengguna awam
- Terintegrasi dengan Sistem Keuangan Desa (Siskeudes)
Alternatif lain adalah membuat versi "PBJ Desa Lite" — platform pengadaan elektronik sederhana yang sesuai dengan skala dan kapasitas desa, namun tetap memenuhi prinsip transparansi dan akuntabilitas.
0 Response to "Kini Dana Desa Wajib Taat Perpres PBJ! Kepala Desa Harus Paham Aturan Main Baru!"
Posting Komentar