UMKM Wajib Masuk E-Katalog! Tapi Ini 3 Pengecualian di Perpres 46/2025

Mulai 2025, belanja pemerintah tidak lagi bisa dilakukan sembarangan. Lewat Perpres No. 46 Tahun 2025, Presiden mewajibkan seluruh kementerian, lembaga, dan pemerintah daerah untuk menggunakan e-Katalog sebagai satu-satunya jalur resmi pengadaan barang dan jasa. Tanpa terkecuali. 

Ini bukan sekadar perubahan sistem, tapi sinyal kuat: UMKM yang tidak segera go digital akan tertinggal dari peluang pasar pemerintah yang bernilai triliunan rupiah.




Pasal 50 Perpres 46/2025: Titik Balik Digitalisasi Belanja Pemerintah


Terbitnya Peraturan Presiden Nomor 46 Tahun 2025 tentang Pengadaan Barang/Jasa Pemerintah menandai era baru dalam proses belanja pemerintah. Perpres ini menggantikan beberapa ketentuan sebelumnya dan mempertegas arah kebijakan nasional dalam pengadaan yang sepenuhnya berbasis digital.

Salah satu poin perubahan dalam regulasi ini tercantum dalam Pasal 50, yang secara eksplisit menyatakan bahwa pengadaan barang/jasa pemerintah wajib dilakukan melalui metode e-purchasing. 

Ini artinya, penggunaan e-Katalog milik LKPP (Lembaga Kebijakan Pengadaan Barang/Jasa Pemerintah) bukan lagi sekadar opsi, melainkan menjadi satu-satunya kanal resmi untuk transaksi pengadaan secara langsung.

Sistem e-Katalog memungkinkan belanja pemerintah dilakukan secara terbuka, cepat, dan terdokumentasi dengan baik, sekaligus memudahkan pengawasan oleh publik.

Lebih dari itu, Perpres ini juga menunjukkan keberpihakan nyata kepada UMKM. Pemerintah memberikan ruang luas bagi pelaku usaha kecil dan menengah untuk terlibat langsung dalam pengadaan, sekaligus mendorong mereka untuk meningkatkan kapasitas digital dan kualitas layanan. 

Namun, agar bisa masuk ke dalam sistem e-Katalog, UMKM perlu mempersiapkan diri dengan memenuhi persyaratan legalitas, kualitas produk, serta kesiapan teknologi.

Namun, dalam masa transisi ini, pelaku UMKM diberikan tenggat waktu selama satu tahun untuk menyesuaikan diri dan mempersiapkan segala persyaratan agar dapat masuk ke dalam sistem digital tersebut. 


Wajib E-Purchasing: Apa Artinya?

Dalam konteks Perpres No. 46 Tahun 2025, istilah wajib e-purchasing merujuk pada keharusan semua instansi pemerintah—baik pusat maupun daerah—untuk melakukan pembelian barang dan jasa melalui sistem e-Katalog yang disediakan oleh LKPP (Lembaga Kebijakan Pengadaan Barang/Jasa Pemerintah).

E-purchasing sendiri merupakan metode pengadaan secara elektronik yang memungkinkan pengguna anggaran memilih, membandingkan, dan membeli produk/jasa dari penyedia yang sudah terdaftar di e-Katalog. 

Prosesnya menyerupai marketplace digital, tetapi khusus untuk kebutuhan belanja pemerintah, dengan kontrol harga, spesifikasi, dan kualifikasi yang telah ditetapkan sebelumnya oleh LKPP.

Dengan adanya kewajiban ini, pengadaan langsung secara manual atau konvensional di luar sistem tidak lagi diperbolehkan, kecuali dalam kondisi-kondisi tertentu (yang akan dijelaskan pada bagian selanjutnya). 

Artinya, seluruh transaksi pembelian barang/jasa yang selama ini kerap dilakukan dengan proses panjang dan rentan penyimpangan, kini harus melalui platform digital yang terdokumentasi dan dapat diawasi secara real-time.

Kebijakan ini memiliki beberapa implikasi penting:

  • Transparansi dan akuntabilitas meningkat, karena setiap transaksi terekam secara digital.

  • Efisiensi waktu dan biaya dalam proses pengadaan, karena tidak lagi memerlukan proses administrasi yang panjang.

  • Peluang yang lebih merata bagi pelaku usaha, terutama UMKM, untuk bersaing menjadi penyedia barang/jasa pemerintah.



Syarat Pengecualian & Masa Transisi

Meski e-purchasing telah ditetapkan sebagai kewajiban dalam Perpres No. 46 Tahun 2025, pemerintah tetap memberikan ruang fleksibilitas melalui sejumlah syarat pengecualian yang diatur secara terbatas dan ketat. 

Hal ini dimaksudkan agar transisi menuju digitalisasi belanja pemerintah tetap realistis dan mempertimbangkan kondisi di lapangan.

Instansi pemerintah dapat melakukan pengadaan barang/jasa di luar e-Katalog hanya dalam kondisi berikut:

1. Barang/jasa belum tersedia di e-Katalog

Jika produk yang dibutuhkan belum tercantum atau penyedia belum terdaftar di sistem, maka pengadaan bisa dilakukan melalui metode alternatif yang sah.

2. Terjadi gangguan sistem

Bila sistem e-Katalog mengalami gangguan teknis yang mempengaruhi kelancaran transaksi, maka instansi dapat menggunakan metode darurat.

3. Keadaan darurat atau mendesak.

Dalam situasi bencana alam, konflik, atau kondisi kritis lainnya yang membutuhkan respons cepat, pengecualian dibolehkan.

Namun penting dicatat, semua pengecualian tersebut harus dapat dibuktikan dan dipertanggungjawabkan secara administratif serta dilaporkan dalam sistem pengawasan pengadaan.

Menyadari bahwa tidak semua pelaku UMKM saat ini sudah siap masuk ke sistem digital e-Katalog, pemerintah memberikan masa transisi selama satu tahun sejak Perpres ini berlaku. Dalam periode ini:

  • UMKM diberi kesempatan untuk mendaftar sebagai penyedia di e-Katalog.

  • Pemerintah dan lembaga terkait didorong untuk memberikan pendampingan, pelatihan, dan fasilitasi administratif kepada pelaku usaha kecil.

Artinya, setelah masa satu tahun berakhir, UMKM yang belum masuk ke dalam sistem e-Katalog tidak lagi dapat menjadi penyedia langsung dalam pengadaan pemerintah. Tenggat waktu ini menjadi batas penting yang harus dipahami sebagai panggilan aksi—bukan sekadar tenggang rasa.

Dengan diberlakukannya Perpres No. 46 Tahun 2025 dan ketentuan wajib e-purchasing, UMKM tidak lagi memiliki pilihan selain bertransformasi secara digital jika ingin tetap relevan dan terlibat dalam belanja pemerintah.

0 Response to "UMKM Wajib Masuk E-Katalog! Tapi Ini 3 Pengecualian di Perpres 46/2025"

Posting Komentar