Perpres 16/2018 Dianggap Masih Lemah dan "Mencelakakan": Revisi Perpres ataukah Dicabut dengan UU?

Via freepik.com


Selain telah dilakukannya beberapa kali revisi terhadap Peraturan Presiden (Perpres) tentang Pengadaan Barang/Jasa Pemerintah, usulan agar pengadaan barang dan jasa pemerintah diatur dalam undang-undang terus bermunculan. Salah satu alasannya adalah karena selama ini pengadaan barang dan jasa mendapatkan legalitas melalui Peraturan Presiden (Perpres) dengan hingga saat ini telah mengalami perubahan kelima, yakni Perpres No. 16 tahun 2018. Dan sayangnya, Peraturan Presiden (Perpres) tersebut masih mengandung kelemahan dan "ketidakadilan, cenderung mencelakakan".

Dalam Tesisnya yang berjudul Kedudukan Hukum Pejabat Pembuat Komitmen (PPK) Dalam Pengadaan Barang/ Jasa Pemerintah, Agus Chandra, menjelaskan bahwa:

Jika ditinjau dari segi pertanggungjawaban ketika dalam proses pengadaan barang/jasa pemerintah terjadi penyimpangan, dalam praktiknya di lapangan, pertanggungjawaban atas penyimpangan terhadap suatu proses pengadaan barang dan jasa Pemerintah dilimpahkan sepenuhnya terhadap Pejabat Pembuat Komitmen atau PPK, hal ini sebagaimana tersirat dalam ketentuan Peraturan Presiden mengenai Pengadaan Barang/ Jasa. Hal ini menimbulkan rasa ketidakadilan, mengingat bahwa berdasarkan Peraturan Presiden Nomor 16 Tahun 2018 tentang Pengadaan Barang/ Jasa Pemerintah, nampak terlihat bahwa dalam proses pelaksanaan pengadaan barang/ jasa tidak hanya PPK yang terlibat, tetapi terdapat pihak-pihak lainnya yang turut mengambil peran dalam pengadaan barang dan jasa yang saling terkait satu sama lain, diantaranya adalah Pengguna Anggaran dan Kuasa Pengguna Anggaran. Dimana PA memiliki tugas dan kewenangan dalam menerapkan Rencana Umum Pengadaan (RUP) sedangkan KPA memiliki kewenangan sesuai dengan apa yang dilimpahkan oleh PA mengenai pengadaan barang dan jasa Pemerintah.

Pemberlakuan sepenuhnya kasus tindak pidana korupsi atas penyimpangan kontrak pengadaan barang/jasa atau yang lainnya kepada pejabat pembuat komitmen (PPK) dirasa bukanlah sebuah keadilan. Hal itu yang diungkapkan oleh Agus Chandra dalam ujian doktornya di Fakultas Hukum Universitas Airlangga (Unair) Surabaya. Dalam disertasinya itu, Agus Chandra telah memberi perspektif lain terkait permasalahan hukum Pejabat Pembuat Komitmen (PPK).

Padahal PPK dalam Pengadaan Barang/ Jasa Pemerintah statusnya ialah sebagai pejabat yang menerima pelimpahan kewenangan dari Pengguna Anggaran (PA)/ Kuasa Pengguna Anggaran (KPA) selaku atasan guna mengambilalih keputusan dan/ atau melakukan tindakan yang dapat mengakibatkan pengeluaran anggaran belanja negara/ anggaran belanja daerah.

Lalu sejauh mana sih pertanggungjawaban hukum Pejabat Pembuat Komitmen (PPK) dalam terjadinya penyimpangan pengadaan barang/ jasa pemerintah? Apakah memang benar-benar PPK dalang dari semua korupsi di dalam pengadaan barang/jasa?

Ditambah lagi dengan Perlem LKPP Nomor 19 Tahun 2019 tentang Pelaku PBJ untuk syarat menjadi PPK sekarang semakin "diperamping", tentunya akan berakibat kualitas SDM PPK yang semakin menurun sehingga mudah sekali melakukan kesalahan-kesalahan dalam mengerjakan tupoksi pengadaan barang/jasa yang berakibat dengan mudahnya seorang PPK menjadi tersangka tipikor.

Baca Juga: Syarat Menjadi PPK

Jika diperlukan revisi Perpres 16/2018, apakah diperlukan memasukan konsep pelimpahan wewenang dari Pengguna Anggaran (PA)/ Kuasa Pengguna Anggaran (KPA) kepada Pejabat Pembuat Komitmen (PPK) secara jelas dan tegas ke dalam revisi Peraturan Presiden Nomor 16 Tahun 2018 dimana pelimpahan tersebut merupakan suatu mandat? Selain itu, apakah perlu adanya pengaturan yang lebih baik lagi terkait pengadaan barang/ jasa pemerintah, dimana tidak hanya diatur dalam bentuk Peraturan Presiden, namun perlu diatur dalam bentuk Undang-Undang khusus terkait pengadaan barang/jasa pemerintah, oleh karena itu harus disusun RUU tentang pengadaan tersebut.



Alasan dibutuhkannya Undang-Undang Pengadaan Barang/Jasa



Melihat kenyataan tersebut di atas, lemahnya perlindungan hukum bagi pejabat pengadaan serta pejabat terkait lainnya yang melakukan penyalahgunaan wewenang dirasa perlu adanya sebuah undang-undang yang mengatur secara khusus tentang penyelenggaraan Pengadaan Barang/Jasa Pemerintah (PBJP), mengatur tentang prosedur penanganan masalah hukum secara terpadu, dimasukannya konsep kedudukan hukum setiap pejabat pengadaan barang/jasa termasuk Pejabat Pembuat Komitmen (PPK) secara jelas dan tegas, pertanggungjawaban tindak pidana korupsi terhadap pejabat pengadaan, mengatur tentang siapa yang berwenang dalam penanganan laporan/ pengaduan tentang adanya indikasi pelanggaran prosedur pengadaan barang/jasa dan indikasi tindak pidana.

Dengan adanya undang-undang pengadaan barang/jasa, maka akan ada peraturan yang jelas tentang prosedur penanganan masalah hukum secara terpadu. Dengan demikian dapat memberikan kepastian bagi penyelenggara PBJP. Tidak ada rasa takut untuk mengambil keputusan dalam menjalankan proyek yang bakal dilelangkan/ditenderkan.

Baca juga: Tugas Pejabat Pembuat Komitmen (PPK) Sesuai Perpres No. 16 Tahun 2018

Bagaimanapun penyimpangan yang dilakukan oleh pejabat pengadaan akan menimbulkan kerugian terhadap keuangan negara dan disebut sebagai tindakan korupsi. Dengan adanya undang-undang tersendiri terkait PBJ, para pejabat pengadaan akan mempunyai perlindungan hukum dan tidak merasa khawatir ketika menjalankan proyek pemerintah.

0 Response to "Perpres 16/2018 Dianggap Masih Lemah dan "Mencelakakan": Revisi Perpres ataukah Dicabut dengan UU?"

Post a Comment