Mengupas Tuntas Rencana Umum Pengadaan (RUP) sebagai Dasar untuk Memulai Pengadaan Barang/Jasa


Pengadaan.web.id - Gambar di atas merupakan ilustrasi uang APBD yang dibagi-bagi untuk kepentingan legislatif, kontraktor dan kelompok kepentingan yang lain. APBD yang merupakan sumber dana yang berguna untuk mensukseskan pembangunan setiap daerah di seluruh Indonesia menjadi "Kue Rebutan" bagi para oknum yang tidak bertanggungjawab. Dari APBD turun menjadi Rencana Umum Pengadaan (RUP). Melalui Rencana Umum Pengadaan (RUP) inilah disusun setiap proyek pemerintahan yang seharusnya menekankan pada prinsip Kebutuhan, bukan prinsip "Kepentingan". Lalu, apa sih sebenarnya Rencana Umum Pengadaan (RUP) itu sendiri yang menjadi dasar dimulainya sebuah proyek pemerintahan?.

Rencana Umum Pengadaan (RUP) adalah Rencana yang berisi kegiatan dan anggaran Pengadaan Barang/Jasa yang bersumber dari APBN/APBD dari rencana Anggaran Kementerian/Lembaga/ Perangkat Daerah (K/L/PD) sendiri dan/atau dibiayai berdasarkan kerja sama antar K/L/PD secara pembiayaan bersama (co-financing).

Rencana Umum Pengadaan (RUP) ini nantinya akan mempengaruhi kapan proses lelang Pengadaan Barang/Jasa bisa dimulai. Pemerintah diwajibkan untuk mengumumkan Rencana Umum Pengadaan Barang/Jasa secara terbuka kepada masyarakat luas,

Nah, permasalahan yang sering muncul adalah apakah dibenarkan jika proses pelelangan pengadaan barang/jasa mendahului tahun anggaran.

Pernyataan ini menunjukkan derajat pemahaman terhadap proses pengadaan barang/jasa yang memprihatinkan. Untuk itu sangatlah wajar jika pengadaan barang/jasa masih dianggap bagian yang marginal dalam proses pembangunan.

Tujuan dari proses pengadaan barang/jasa adalah mewujudkan pembangunan nasional secara merata, adil dan sesuai dengan kebutuhan. Dan indikator keberhasilan pencapaian kebutuhan dalam pengadaan barang/jasa adalah dengan memperhatikan value for money (VFM).

Dalam melangsungkan pembangunan nasional, tentunya dibutuhkan suatu perencanaan masa depan yang tepat, melalui urutan pilihan, dengan memperhitungkan sumber daya yang tersedia. Oleh karenanya dibutuhkan Sistem Perencanaan Pembangunan Nasional yang nantinya mampu menghasilkan rencana-rencana pembangunan dalam jangka panjang, jangka menengah, dan tahunan yang dilaksanakan oleh unsur penyelenggara negara dan masyarakat di tingkat Pusat dan Daerah. Dokumen perencanaan pembangunan nasional sebagaimana diatur dalam UU 25/2004 terdiri dari Rencana Pembangunan Jangka Panjang (RPJP), Rencana Pembangunan Jangka Menengah (RPJM) dan Rencana Kerja Pemerintah (RKP) Nasional. Ditingkat daerah RKP Nasional menjadi acuan dalam menyusun Rencana Kerja Pemerintah Daerah (RKPD) sebagaimana amanat UU 25/2004 pasal 5 ayat 3.

RKPD inilah yang nantinya dijadikan dasar dalam penyusunan Kebijakan Umum APBD (KUA) dan rancangan Prioritas dan Plafon Anggaran Sementara (PPAS) atau biasa disingkat menjadi KUA-PPAS. RKPD harus disepakati bersama antara Pemerintah Daerah dan Dewan Perwakilan Rakyat Daerah (DPRD) sebagai dasar dalam penyusunan Rancangan Peraturan Daerah tentang APBD.

Kiranya menjadi jelas bahwa dasar untuk memulai pengadaan barang adalah rencana kerja/perencanaan kebutuhan. Selaras dengan ketentuan Perpres 54/2010 dan seluruh perubahannya pasal 22 ayat (3) bahwa Rencana Umum Pengadaan (RUP) meliputi kegiatan-kegiatan sebagai berikut:
  1. mengindentifikasi kebutuhan Barang/Jasa yang diperlukan K/L/PD (RKBMD).
  2. menyusun dan menetapkan rencana penganggaran untuk Pengadaan Barang/Jasa (RKA).
  3. Menetapkan Kebijakan Umum tentang pemaketan pekerjaan, cara Pengadaan Barang/Jasa, dan pengorganisasian Pengadaan Barang/Jasa; 
  4. Menyusun Kerangka Acuan Kerja (KAK)
Jika RUP sudah berhasil disusun, maka langkah selanjutnya adalah proses pemilihan Penyedia Barang/Jasa. Mari kita lihat Perpres 4/2015 pasal 86 ayat 2a yang menyebutkan bahwa dalam hal proses pemilihan Penyedia Barang/Jasa dilaksanakan mendahului pengesahan DIPA/DPA dan alokasi anggaran dalam DIPA/DPA tidak disetujui atau ditetapkan kurang dari nilai Pengadaan Barang/Jasa yang diadakan, proses pemilihan Penyedia Barang/Jasa dilanjutkan ke tahap penandatanganan kontrak setelah dilakukan revisi DIPA/DPA atau proses pemilihan Penyedia Barang/Jasa dibatalkan.

Dari pasal ini kita bisa menarik sebauh kesimpulan bahwa Perpres 4/2015 berusaha memisahkan kaitan antara proses pemilihan penyedia dengan kemampuan keuangan (Kepastian Kecukupan/Kesesuaian Anggaran). Otomatis dengan itu kemampuan keuangan tidak dapat dipisahkan dengan penandatanganan kontrak.

Untuk memperkuat pemahaman mengenai proses pemilihan Penyedia Barang/jasa tidak mengikat kemampuan keuangan, mari kita lihat dari beberapa pasal berikut ini :

Pasal 25:

(1) PA mengumumkan Rencana Umum Pengadaan Barang/Jasa pada masing-masing Kementerian/Lembaga/ Institusi secara terbuka kepada masyarakat luas setelah rencana kerja dan anggaran (RKA-KL) Kementerian/ Lembaga/ Institusi disetujui oleh DPR.

(1a) PA pada Pemerintah Daerah mengumumkan Rencana Umum Pengadaan Barang/Jasa secara terbuka kepada masyarakat luas, setelah rancangan peraturan daerah tentang APBD yang merupakan rencana keuangan tahunan Pemerintah Daerah disetujui bersama oleh Pemerintah Daerah dan DPRD.

RKA-KL dan Raperda APBD masih bisa dimungkinkan untuk berubah. Untuk itulah Perpres Nomor 54 Tahun 2010 mengatur secara spesifik jenis pelelangan yang prosesnya bisa dilakukan sebelum anggaran disahkan. Proses yang dapat dilakukan sebelum anggaran disahkan seperti dijelaskan pada pasal 60 (3) : “Dalam hal Pelelangan Umum dengan prakualifikasi, Pelelangan Terbatas atau Seleksi Umum dilakukan mendahului Tahun Anggaran, SPPBJ hanya diterbitkan setelah DIPA/DPA disahkan.”
Baca Juga: Dasar Hukum Pelaksanaan Lelang Mendahului KUA-PPAS/Penetapan APBD

Maka dari itu pada dokumen pemilihan penyedia mendahului DIPA/DPA selalu dituangkan klausal “ketidakpastian” berupa pernyataan bahwa DIPA/DPA belum ditetapkan sehingga sangat terbuka kemungkinan dibatalkan jika anggaran tidak disepakati atau jumlahnya kurang dari yang telah diumumkan. Jika proses pelelangan dibatalkan karena DIPA/DPA tidak ditetapkan atau alokasi anggaran dalam DIPA/DPA yang ditetapkan kurang dari nilai pengadaan yang diadakan, maka Penyedia Barang/Jasa tidak dapat diberikan ganti rugi.

Syarat-syarat RUP dapat diumumkan tertuang pada pasal 25 Perpres 54/2010 sebagaimana diubah dengan Perpres 4/2015, yang mensyaratkan pengumuman RUP paling minimal sudah ada RKA-KL, sedang untuk daerah, minimal RAPBD sudah disetujui bersama dengan DPRD.

Namun demikian pasal 73 ayat 2 bahwa Untuk Pengadaan Barang/Jasa tertentu, Pokja ULP dapat mengumumkan pelaksanaan pemilihan Penyedia Barang/Jasa secara luas kepada masyarakat sebelum RUP diumumkan.

Kata kondisi tertentu dalam pasal tersebut apa saja? Penjelasan pasal 73 ayat 2 mengurai kata "tertentu" antara lain :
  1. pengadaan Barang/Jasa yang membutuhkan waktu perencanaan dan persiapan pelaksanaan pengadaan Barang/Jasa yang lama;
  2. pekerjaan kompleks; dan/atau
  3. pekerjaan rutin yang harus dipenuhi di awal tahun anggaran dan tidak boleh berhenti
Dari sini tegaslah bahwa yang perlu dipahami adalah output dari proses pemilihan penyedia bukanlah sebuah perjanjian yang final, bukanlah untuk langsung dikontrakan. Output dari proses pemilihan Penyedia Barang/Jasa paling jauh hanya penetapan pemenang sehingga tidak terikat pada kemampuan keuangan/kepastian ketersediaan anggaran. Setelah adanya kebutuhan yang sudah diidentifikasikan dalam bentuk Rencana Kebutuhan Barang Milik Daerah (RKBMD), maka proses pemilihan Penyedia Barang/Jasa dapat dilangsungkan.

0 Response to "Mengupas Tuntas Rencana Umum Pengadaan (RUP) sebagai Dasar untuk Memulai Pengadaan Barang/Jasa"

Post a Comment