Perubahan Perpres Pengadaan Barang/Jasa dalam Genggaman Oknum Koruptor


Pengadaan.web.id - Busyro Muqoddas, mantan Ketua KPK-RI ke-3, memaparkan bahwa korupsi bukan saja merusak Negara tapi juga proses dehumanisasi karena koruptor telah memberhalakan materi sebagai Tuhan palsu.

Pengaturan Pengadaan Barang/Jasa (PBJ) yang berubah menjadi Peraturan presiden (Perpres) merupakan bagian dari usaha penyelenggaraan pemerintah yang menjunjung integritas, transparansi, akuntabilitas, dan persaingan sehat yang dilakukan oleh para penyedia/rekanan. Untuk mencapai good governance and clean government, Perpres Pengadaan Barang dan Jasa Pemerintah telah diadakan beberapa kali perubahan. Hal ini dimaksudkan untuk mengisi kekosongan hukum atas beberapa poin strategis yang belum diatur sebelumnya sehingga nantinya mampu menutup celah tindak pidana korupsi dalam genggaman tangan para koruptor.

Berikut ini perjalanan Perpres Pengadaan Barang dan Jasa Pemerintah

Diawali dengan Perpres No. 54 Tahun 2010 tentang Pengadaan Barang/Jasa Pemerintah merupakan perpres pertama yang mengemas pengaturan PBJ. Dilanjutkan dengan Perpres No. 35 Tahun 2011 sebagai Perubahan pertama Perpres No. 54 Tahun 2010 mengubah ketentuan Pasal 44. Perubahan tersebut menambahkan poin yang mengatur tentang penunjukan langsung pekerjaan jasa konsultansi di bidang hukum.

Kemudian dalam rangka percepatan pelaksanaan belanja Negara sebagai upaya percepatan pembangunan, diadakan perubahan melalui Perpres No. 70 Tahun 2012. Perpres tersebut melakukan perubahan terhadap 70 (tujuh puluh) ketentuan baik pasal maupun penjelasan pasalnya.

Pada tahun 2014, lahir Perpres No. 172 Tahun 2014. Perubahan dilakukan dengan menambahkan huruf d.1 pada ayat (5) Pasal 38 tentang kegiatan yang bersifat rahasia untuk kepentingan intelijen atau perlindungan saksi, sebagai kriteria keadaan tertentu yang memungkinkan dilakukan penunjukan langsung terhadap Penyedia Barang/Pekerjaan Konstruksi Jasa.

Di awal tahun 2015, Pengadaan barang dan jasa Indonesia mendapatkan surprise dengan dikeluarkannya Perpres No. 4 Tahun 2015 sebagai Perubahan Keempat atas Perpres No. 54 Tahun 2010. Poin penting perubahan yang dilakukan di antaranya adalah perubahan defenisi LKPP dan Pejabat Fungsional Pengadaan, penambahan penunjukan langsung pada poin tugas pokok dan kewenangan pejabat pengadaan, merampingkan persyaratan pajak untuk penyedia, menambahkan aturan tentang persyaratan pajak untuk metode pengadaan langsung. Perpres ini diharapkan dapat mengatasi beberapa kendala dan permasalahan yang dihadapi dalam pengadaan barang dan jasa. Salah satu poin penting selain yang terlah disebutkan sebelumnya adalah diberikannya kewenangan yang lebih besar kepada pejabat pengadaan untuk melaksanakan pengadaan dengan cara e-purchasing.

Dan perubahan selanjutnya dengan terbitnya Perpres No. 16 Tahun 2018 yang sudah mulai berlaku Juli 2018. Revisi beleid (kebijakan) PBJ ini dilakukan untuk mengurangi terjadinya kesalahan maupun praktik kecurangan dalam pelaksanaan pengadaan. Pasalnya, dewasa ini kasus inefisiensi, moral hazard, bahkan perilaku koruptif masih terjadi dalam pengadaan pemerintah. Untuk mengetahui perbedaan Perpres terbaru dengan Perpres terdahulunya, baca di selengkapnya disini.

Pengadaan Barang/Jasa sebagai Lahan Subur Koruptor

Maraknya kasus tindak pidana korupsi menjadikan korupsi sebagai extraordinary crime. Tidak dapat dipungkiri, pemberantasan korupsi masih mebersihkan area permukaannya saja, belum bisa menuntaskan hingga ke bagian paling dalamnya.

Berdasarkan data Indonesia Corruption Watch (ICW), Catatan Korupsi sepanjang tahun 2013 menunjukkan dari 267 kasus korupsi 42,70 persen merupakan kasus Pengadaan Barang dan Jasa (PBJ) dimana pejabat/pegawai pemda merupakan aktor utama korupsi. Dari 1271 tersangka, sekitar 47,6% (605 orang) merupakan tersangka korupsi pengadaan barang dan jasa. Dari pegawai pemda tersebut 39,03 persennya merupakan PPK, dan PPTK (Pejabat Pelaksana Teknis Kegiatan).

Riset dari Michael Buehler mengenai reformasi sistem pengadaan barang dan jasa pemerintah dan merujuk data Indonesia Procurement Watch (IPW) menunjukkan 70% praktik korupsi berakar dari sistem pengadaan barang dan jasa pemerintah.

Fakta lain ditunjukan dengan Laporan Akuntabilitas Kinerja Instansi Pemerintah (LAKIP) KPK Tahun 2014, selama tahun 2014, berkas perkara yang dilimpahkan ke Pengadilan Negeri Tipikor adalah sebanyak 45 (empat puluh lima) perkara. Dari jumlah itu, sebanyak 40 (empat puluh) perkara sudah diputus di PN Tipikor dengan keputusan terdakwa dinyatakan bersalah. Penanganan berdasarkan jenis perkara menunjukkan dari 58 (lima puluh delapan) perkara korupsi sepanjang 2014, 15 (lima belas) di antaranya kasus korupsi pengadaan barang dan jasa.

Sisanya berupa 5 (lima) kasus korupsi perizinan, 20 (dua puluh) kasus penyuapan, 6 (enam) kasus terkait pungutan, 4 (empat) kasus terkait penyalahgunaan anggaran, 5 (lima) kasus pencucian uang, dan 3 (tiga) kasus merintangi pemeriksaan KPK. Namun, mungkin apabila dikaji lebih dalam, perkara-perkara tersebut bisa jadi masih berakar pada pengadaan barang dan jasa pemerintah. Oleh karenanya, pengadaan barang dan jasa sudah seharusnya menjadi isu utama dalam pemberantasan korupsi di negara ini.

Pengadaan Barang dan Jasa merupakan lahan subur bagi koruptor. Modusnya dapat berupa mark up harga, pengadaan barang dan jasa fiktif, manipulasi harga/barang, pemanfaatan celah hukum peraturan/kebijakan pengadaan dan jasa, dan sebagainya (Baca: 6 Praktik yang Memicu Tindak Pidana Korupsi dalam Pengadaan barang dan jasa).

Lembaga Kebijakan Pengadaan Barang dan Jasa Pemerintah (LKPP) sebagai lembaga yang memiliki kewenangan dalam proses pengadaan barang dan jasa diharapkan bekerja maksimal dalam mengawasi dan mengambil kebijakan atau memutuskan aturan mengenai kegiatan pengadaan barang dan jasa. Bukan hanya dari fungsi dan peranannya, tetapi juga melakukan peningkatan kinerja  dan SDM di internalnya.

Sinergi antar stakeholder, yakni LKPP dengan KPK dan BPK dalam upaya pencegahan dan pemberantasan korupsi sangat dibutuhkan. Selain itu, BPKP juga memiliki peranan penting dalam hal ini. BPKP sebagai institusi pengawasan keuangan dan pembangunan diharapkan mampu mengawal pengadaan barang dan jasa pemerintah dan mendeteksi adanya anggaran yang diduga menjadi bagian dari modus para koruptor dalam mencuri uang rakyat.

0 Response to "Perubahan Perpres Pengadaan Barang/Jasa dalam Genggaman Oknum Koruptor"

Post a Comment