Thok! Presiden dan DPR Melemahkan KPK: Analisis Upaya Pelemahan Fungsi KPK Via Revisi UU KPK

Revisi UU KPK yang kontroversial sudah resmi ketok palu menjadi UU. Sejak awal menjadi RUU ini disetujui di DPR di awal September kemarin, dalam tempo singkat (kurang lebih 2 minggu) tahu-tahu sudah jadi UU.

Aksi unjuk rasa terkait revisi UU KPK via https://tirto.id


Meskipun gelombang amukan massa begitu cukup kuat ternyata tidak didengar oleh DPR dan Pemerintah. Revisi UU KPK tetap disahkan oleh DPR. Terbayang bagaimana begitu stresnya teman-teman dari kelompok anti korupsi yang mati kutu.

Revisi UU 30/2002 tentang KPK ditolak oleh guru besar, akademisi, koalisi masyarakat, hingga oleh KPK sendiri karena dianggap bisa melemahkan fungsi lembaga antikorupsi itu. Meski demikian, revisi UU KPK tetap saja ketok palu, disahkan melalui rapat paripurna DPR pada Selasa (17/9/2019).

KPK sudah "kalah" sebelum pembahasan revisi UU KPK ini mencuri perhatian untuk kemudian melesat begitu cepat dari sekadar draft menjadi UU dalam rapat paripurna DPR hanya 13 hari. Iya, 2 minggu saja. Tanpa perlawanan berarti dari masyarakat.

Rasanya secara hukum tidak ada lagi yang bisa dilakukan. Ini loh beberapa poin mengapa revisi tersebut sangat berpotensi memperlemah KPK.

1. Pegawai KPK menjadi ASN

Seluruh Pegawai KPK menjadi Pegawai Aparatur Sipil Negara yang terdiri dari Pegawai Pemerintah dengan Perjanjian Kerja (P3K) dan Pegawai Negeri Sipil (PNS).

Potensi pelemahan :

a. Menghilangkan independensi Pegawai KPK dalam penanganan perkara karena urusan kenaikan pangkat, pengawasan, dan mutasi akan berkoordinasi dengan kementerian terkait.

b. Lebih lanjut, P3K tidak mempunyai hak promosi dan jaminan yang sama sebagaimana Pegawai Negeri Sipil.

c. Risiko dalam independensi bagi pegawai KPK yang menangani kasus korupsi di instansi pemerintahan.

d. Wadah Pegawai KPK akan digantikan oleh KORPRI karena seluruh ASN harus tergabung dalam wadah tunggal KORPRI sehingga tidak akan ada lembaga yang mewakili kepentingan Pegawai KPK.

2. Penyadapan dilaksanakan SETELAH mendapat izin tertulis dari Dewan Pengawas.

a. Proses penyadapan yang selama ini berdasarkan pada standar lawful interception sesuai standar Eropa serta dipertanggungjawabkan melalui audit oleh pihak ketiga, AKAN tergantikan dengan adanya permohonan izin kepada Dewan Pengawas.

Jadi selama ini PENYADAPAN juga ada aturannya kok gak yang seenaknya gitu seperti tuduhan beberapa pihak.

b. Penyadapan, sasaran yang ingin diperlemah melalui berbagai upaya. Mulai dari jalur pengujian UU hingga upaya revisi UU KPK. Korupsi, kejahatan yang luar biasa dan dilakukan secara tertutup. Bukti-bukti penyadapan sangat berpengaruh dalam membongkar skandal korupsi.

3. Penyadapan, paling lambat 6 bulan sejak izin tertulis

Dari pengalaman KPK, proses tindak pidana korupsi yang canggih membutuhkan waktu yang lama dengan persiapan matang. Aturan ini tidak melihat kecanggihan dan kerumitan kasus korupsi yang terus berkembang.

4. Ketua & Anggota Dewan Pengawas diangkat oleh Presiden

Potensi conflict of interest dalam melakukan kontrol yang bisa berujung pada kebocoran informasi. Misalnya terkait izin penyadapan. Padahal penyadapan mempunyai fungsi penting dalam melakukan tangkap tangan serta fungsi penegakan hukum lainnya.

5. KPK dapat menghentikan penyidikan dan tuntutan terhadap perkara tipikor yang prosesnya tidak selesai dalam tempo waktu 2 tahun.

Pasal 40 UU No. 30/2002 --> KPK tidak berwenang mengeluarkan surat perintah penghentian penyidikan dan penuntutan dalam tindak pidana korupsi, ADALAH konsekuensi logis-normatif dari ...

Pasal 44 UU No. 30/2002 --> KPK dalam melakukan penyelidikannya telah mencari bukti permulaan yang cukup terjadinya suatu dugaan tindak pidana korupsi. Dengan demikian, KPK telah memiliki cukup bukti untuk menetapkan seseorang sebagai tersangka pada tahap penyidikan.

a. KPK menetapkan suatu kasus penyidikan melalui proses yang sangat hati-hati karena tidak adanya penghentian penyidikan dan penuntutan. Perubahan poin nomor 5 akan menurunkan standar KPK dalam penanganan kasus.

b. Penghentian penyidikan & penuntutan yang belum selesai selama 2 tahun berpotensi terjadinya intervensi.

Terlebih pada kasus yang besar serta menyangkut penegakan hukum transaksional. Proses penanganan akan sangat sulit menyelesaikan selama dua tahun.

Selain itu, berpotensi pula adanya penghambatan kasus secara administrasi sehingga bisa lebih dari 2tahun.

c. Tingkat kesulitan penanganan perkara dari satu perkara ke perkara lain bermacam-macam, sehingga mungkin saja ada perkara yang amat rumit sehingga membutuhkan waktu lebih dari dua tahun untuk menanganinya.

d. Tidak pernah ada aturan dalam sistem hukum acara pidana Indonesia yang mengatur bahwa suatu penyidikan/penuntutan harus dihentikan jika selama jangka waktu tertentu proses penyidikan/penuntutannya belum selesai.



Aturan ini adalah ANOMALI yang sama sekali tidak mendukung pelaksanaan tugas penegakan hukum KPK.

Apakah gerangan kompromi itu, Pak Jokowi? Sehingga bisa dirimu mengendurkan komitmen untuk memberantas korupsi, sesuatu yang digadang-gadang oleh sebagian mereka yang memilih Anda.
"Karena entah besok KPK akan dimiliki siapa. Karena dengan revisi ini, KPK tidak seperti dulu lagi, gedung tetap ada namun nilai-nilainya tergerus,"
Beberapa hal-hal pokok yang mengemuka dan kemudian disepakati ada tujuh poin perubahan. Berikut ketujuh poin tersebut soal status kedudukan kelembagaan KPK, Dewan Pengawas KPK, pembatasan fungsi penyadapan, mekanisme penerbitan SP3 oleh KPK, koordinasi KPK dengan penegak hukum, pekanisme penyitaan dan penggeledahan, dan status kepegawaian KPK.

Doa terbaik kami semua untuk para pemimpin-pemimpin negeri agar tetap diluruskan jalannya, dikuatkan hatinya, ditegakkan keberaniannya.

0 Response to "Thok! Presiden dan DPR Melemahkan KPK: Analisis Upaya Pelemahan Fungsi KPK Via Revisi UU KPK"

Post a Comment