Memperbaiki Enam Pilar Ekosistem Pengadaan


Semarang - Perjuangan dalam mewujudkan pengadaan yang kredibel tidak hanya berhenti pada usaha pembuatan regulasi, sistem, dan kebijakan, melainkan juga perlu didukung oleh unsur-unsur lainnya. Salah satu yang menjadi perhatian saat ini adalah ekosistem pengadaan yang belum ideal.

Dalam memberikan masukan tertulis kepada Presiden, Kepala LKPP Agus Prabowo beserta jajaran deputinya pun menyusun 6 pilar ekosistem pengadaan yang perlu diharmonisasi, terutama yang berkenaan dengan keterkaitan unsur instansi lain, baik itu  regulasi maupun praktik pelaksanaan. Hal itu meliputi perencanaan pengadaan, penganggaran, organisasi, aturan pembayaran dan perpajakan, audit dan penegakan hukum, serta insentif.

Agus menyampaikan bahwa model perencanaan kebanyakan instansi saat ini belum ideal dalam mendorong pelaksanaan lelang yang efektif. Hal ini berkenaan dengan kesiapan K/L/D/I dalam merencanakan spesifikasi, HPS, dan kontrak. Padahal, seluruh tahap perencanaan dapat dilakukan sebelum anggaran disahkan DPR ataupun DPRD.

Jika seluruh tahap perencanaan dapat diselesaikan sebelum dimulainya tahun anggaran baru, pelaksanaan pengadaan tentunya lebih efektif. “Sehingga begitu bulan Januari (paket pengadaan) siap dieksekusi,” kata Agus saat membuka Rapat Koordinasi Ahli Pengadaan Barang /Jasa dan ULP di Semarang, Rabu lalu (26/08).

Meskipun demikian, praktik yang tampak saat ini justru menunjukkan hal yang berbeda. Kebanyakan K/L/D/I belum dapat melaksanakan lelang pada awal tahun. Hal ini tentu saja berpotensi menyebabkan perlambatan dalam penyerapan anggaran.

Selanjutnya, pelaksanaan pengadaan saat ini juga masih terbentur dengan  aturan  penganggaran. Regulasi saat ini masih mengacu  pada skema tahun tunggal (single year). Artinya, semua paket pengadaan harus diselesaikan sebelum tahun anggaran berikutnya berjalan. “Padahal, kadang-kadang ada APBNP dan APBDP yang disahkan bulan Agustus,” lanjut Agus.

Belum lagi jika paket pengadaan memerlukan waktu yang panjang dalam penyelesaiannya. Pemerolehan izin, menurut Agus, dalam pelaksanaan paket tahun jamak harus didasari atas persetujuan Kementerian Keuangan. Padahal, Kementerian Keuangan pun membutuhkan persetujuan dari kementerian yang terkait. Pada akhirnya, izin penyelenggaraan paket tahun jamak terhambat.

Selain itu, aturan mengenai pengorganisasian antara pemerintah pusat dan daerah, diakui Agus, memang belum benar-benar menemui titik temu, misalnya  kewenangan antara Pejabat Pembuat Komitmen (PPK) dan Pejabat Pengadaan dan Pejabat Pelaksana Teknis Kegiatan (PPTK). “PPTK diberi kekuasaan dalam mengeksekusi (pengadaan), tetapi tidak punya hak dalam  pelaksanaan  lelang,” terangnya.

Pembagian  kewenangan dan tugas yang belum jelas ini tentu berpotensi menimbulkan konflik internal di antara aparat pemerintah, khususnya dalam  kaitan dengan pelaksanaan pengadaan. Dengan demikian, perlu ada harmonisasi regulasi antara Perpres Nomor 54 Tahun 2010 dan  PP Nomor 21 Tahun 2011.

Keempat, Agus juga menyinggung ihwal aturan pembayaran dan perpajakan yang terkait dengan belanja pemerintah. Aturan mengenai mekanisme pembayaran secara reimburse setelah pemerintah menerima manfaatnya saat ini, menurut Agus, justru sering kali menjadi hambatan. Hal ini akan menjadi bertolak belakang jika diperbandingkan dengan perubahan gaya berbelanja dewasa ini, misalnya tren penggunaan e-commerce. “Tapi kan dunia sudah berubah. Ada jenis-jenis pengadaan yang mengharuskan kita bayar di depan,” katanya.

Jika dikaitkan dengan target pencapaian katalogisasi produk hingga 1 juta item, regulasi mengenai aturan pembayaran dan program nasional LKPP seolah-olah seperti dua sisi mata uang. Di satu sisi pemerintah ingin semua produk masuk ke dalam katalog; di sisi yang lain skema pembayaran belum mendukung hal tersebut.

Kelima, pilar ekosistem pengadaan yang sedang diperjuangkan saat ini adalah audit dan penegakan hukum. Berdasarkan Pasal 30 Ayat 2 Penjelasan UU Nomor 17 Tahun 2003 dalam kaitan dengan pelaksanaan audit, kata Agus, laporan realisasi anggaran—selain menyajikan realisasi pendapatan dan belanja—seharusnya juga menjelaskan prestasi kerja setiap kementerian dan lembaga.

Menurut Agus, esensi dari audit tidak melulu hanya mencari temuan, melainkan juga mencakup catatan positif. “Jadi, tujuan audit itu adalah untuk mengevaluasi; selain mencari temuan, juga mengakui prestasinya,” lanjutnya. Melalui evaluasi seperti ini, kementerian atau lembaga dapat lebih memfokuskan optimalisasi pada aspek-aspek yang belum ideal.

Di sisi lain, aturan yang memberikan kewenangan kepada APH untuk menindaklanjuti aduan masyarakat sebenarnya sangat baik, terutama dalam upaya penegakan hukum yang sebenar-benarnya dan mendorong pelaksanaan good governance.

Sayangnya, aturan ini, menurut Agus, tidak jarang digunakan sebagai celah untuk melakukan kriminalisasi. Pada akhirnya, banyak pejabat yang merasa khawatir dan takut dalam mengeksekusi pengadaan. “Bagaimana bisa orang mengeksekusi pengadaan dengan baik jika takut lalu harus bekerja secara terburu-buru,” jelasnya.

Selanjutnya, sistem pemberian insentif pun juga menjadi hal yang diperjuangkan oleh Agus. Menurutnya, pejabat pengadaan juga memiliki tanggung jawab yang berat sehingga sangat layak jika mendapatkan insentif. Agus mengakui bahwa, saat ini, pemberian insentif bagi pejabat pengadaan belum dapat dikategorikan ideal jika dibandingkan dengan beberapa instansi yang memperjuangkan penerimaan negara.

Padahal, efisiensi melalui pengadaan yang efektif pun menjadi bagian dari prestasi. “Rasanya, giliran kita yang (berprestasi dalam) spending government expenditure mendapatkan penghargaan seperti itu,” pungkasnya.

Source : LKPP

0 Response to "Memperbaiki Enam Pilar Ekosistem Pengadaan"

Post a Comment